Senin, 07 Juni 2010

BERCERMIN PADA PENDIDIKAN MALAYSIA

Dalam dua dekade terakhir ini, salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami perkembangan secara pesat adalah Malaysia. Bersama Singapura dan Brunai Darussalam, perekonomian penduduk Negara ini diatas rata-rata jika dibandingkan Negara-Negara lain di Asia Tenggara.
Kalau kita mencoba menilik kepada sejarah kemerdekaan Malaysia, sebenarnya Malaysia merupakan negara yang lambat dalam memperoleh kemerdekaan. Mereka baru memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1956, jauh setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan. Akan tetapi, perkembangannya justru lebih pesat dari Indonesia.
Kemajuan yang sangat pesat ini tentunya sangat ditunjang oleh beberapa faktor. Akan tetapi, faktor yang tentunya sangat dominan dalam menunjang kemajuan suatu negara adalah pendidikan, karena pendidikan akan membentuk pola pikir penduduk suatu negara.
Satu hal yang sangat ironi adalah sebelum tahun 1980-an, Malaysia masih banyak mengirim mahasiswanya ke Indonesia untuk menuntut ilmu. Selain itu, mereka juga banyak mengimpor guru dari Indonesia untuk mengajar di Malaysia. Namun, sekarang ini sudah sangat jarang kita temukan mahasiswa dari malaysia yang belajar di Indonesia. Indonesia justru banyak melakukan study banding ke negara tersebut.
Kalau kita mencoba melihat budaya yang ada di Malaysia, Malaysia adalah Negara yang paling dekat kekerabatannya dengan Indonesia. Mayoritas penduduknya adalah suku melayu, yang merupakan suku dengan etnis sama dengan penduduk yang tinggal di sebagian pulau sumatra dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Selain itu, bahasa persatuan yang digunakan adalah bahasa malaysia (melayu), yang merupakan induk bahasa bagi bahasa persatuann di Indonesia. Persamaan latar belakang kebudayaan tersebut akan lebih memudahkan kita dalam melakukan rekonstruksi pendidikan bagi negara Indonesia, jika mencoba mengupas pendidikannya.
Satu hal yang menarik kita cermati pendidikan di Malaysia adalah ketika sebuah keluarga memiliki seorang anak maka orang tuanya wajib mendaftarkannya di sekolah rendah (setingkat SD) satu tahun sebelum masa sekolah. Hal ini dimaksudkan agar adanya kepastian bahwa anaknya mengikuti pendidikan wajib. Di Malaysia masa persekolahan sekolah rendah adalah 7-12 tahun. Jadi saat seorang anak sudah berumur 6 tahun, jika orang tua belum mendaftarkannya ke sekolah rendah maka akan dikenakan sanksi undang-undang. Orang tua akan dikenakan denda mamaksimal RM 5000 atau kurungan penjara 6 bulan, bahkan bisa saja kedua-duanya sekaligus. Yang tidak kalah bernilai “plus” juga adalah mengenai uang bayaran sekolah rendah di Malaysia. Di Malaysia sumbangan PIBG (Persatuan Ibu Bapa dan Guru) hanya dibayar perkeluarga. Jadi kalau sebuah keluarga memiliki 1 anak atau lebih sama saja bayaran yang dikeluarkan. Selain itu pungutan lain tidak ada termasuk sumbangan untuk dana pembangunan. Sebab dana pembangunan sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah.
Realita seperti ini sangat irono sekali jika melihat pendidikan di Indonesia. Wajib belajar 9 tahun yang dikenakan terhadap setiap anak hanyalah slogan belaka. Tidak jarang dari anak-anak yang tidak sekolah sama sekali, yang ini berarti mereka telah kehilangan haknya untuk sekolah, telah luput dari pengawasan pemerintah. Selain itu, tingginya biaya pendidikan yang belum sepenuhnya dapat diperbaiki oleh pemerintah menjadi nilai minus lagi jika dibandingkan dengan pendidikan yang ada di Malaysia.
Selanjutnya mari kita menelaah ke jenjang perguruan tinggi. Asyril dalam web site-nya, mengatakan bahwa “Jika kita melihat dari bayaran semesteran, kalau di Indonesia bayaran semester S2 dan S3 lebih mahal dari S1, sedang di Malaysia sebaliknya S1 malah lebih mahal dari S2 dan S3. Selain itu jika kuliah di universitas negeri di Malaysia, uang bayaran tiap semesternya semakin murah dengan bertambahnya semester. Misalnya pada semester 1 mahasiswa dikenakan uang semester sebesar RM 1700, sedangkan pada semester 2 sebesar RM 1400, dan seterusnya.” Hal ini lagi-lagi dikarenakan pemerintahnya. Pemerintah kerajaan Malaysia memberikan subsidinya pada tiap kampus negeri disana dengan “tidak hanya setengah hati”.
Selain perbedan itu, kalau kita mencoba melihat pada kurikulum yang ada, pendidikan malaysia sudah diseragamkan mulai tingkatan menengah dengan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mata pelajaran matematika dan sains. Hal ini dikarenakan Malaysia sangat memahami bahwa bahasa Inggris sangat diperlukan dalam kancah global. Berbeda dengan Indonesia. Bahasa Inggris disini hanyalah difokuskan bagi mereka yang mengambil jurusan Bahasa Inggris dan pada sekolah-sekolah yang bertaraf internasional.
Perhatian pemerintah Malaysia terhadap pendidikan yang ada di Negaranya pantas sekali diacungi jempol. Penanaman pengetahuan siswa tentang ICT mulai dari pendidikan prasekolah sudah dimasukan dalam kurikulum, dan dibarengi dengan pemberian minimal satu unit komputer kepada setiap lembaga pendidikan prasekolah dari pemerintah. Selain itu, perhatian pemerintah juga terlihat dari pemberian bantuan makanan sebesar RM 1,5/hari pada setiap anak pada pendidikan prasekolah.
Namun ada juga perbedaan yang cukup membuat Indonesia agak lebih unggul dari malaysia. Perbedaan itu terletak dari segi demokratisasi dalam pendidikan. Jika di Indonesia, mahasiswa lebih bebas mengikuti kegiatan ekstra dan kelompok-kelompok studi, di Malaysia mahasiswa seolah hanya difokuskan di dalam kampus saja ditambah ada peraturan yang melarang mahasiswa berkancah di perpolitikan. Sehingga bisa dibilang mahasiwa Malaysia lebih pasif. Jika ada diskusi atau seminar kurang vokal. Sedang di Indonesia tidak, karena mahasiswanya sudah terbiasa vokal pada kegiatan ekstra.
Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa Malaysia adalah bangsa yang paling dekat kekerabatannya dengan Indonesia jika dilihat dari etnis yang mendiami wilayahnya. Perbedaan ini tidak menjadikan Malaysia tertinggal dari Indonesia, dan justru sebaliknya, Indonesia yang sebenarnya telah lama lebih dahulu merdeka, justru tertinggal jauh dari Malaysia. Dari sedikit gambaran pendidikan di Malaysia di atas, dapat ditarik bebrapa kesimpulan yang patut kita renungkan bersama, yang kemudian dapat kita ambil ibrah-nya
Pertama, untuk menjadikan pendidikan Indonesia lebih berkualitas adalah dengan memaksimalkan perhatian pemerintah dalam bidang pendidikan. Subsidi terhadap sekolah janganlah hanya setengah-setengah, sehingga pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah bukan hanya sekedar pendidikan gratis yang semu, melainkan pendidikan gratis yang senyata-nyatanya.
Kedua, untuk dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat menjawab tantangan global, maka hendaknya ditanamkan pengetahuan tentang ICT mulai dari jenjang yang sedini mungkin. Pengenalan terhadap ICT pada jenjang TK akan sangat menarik jika dilakukan dengan suatu permainan-permainan yang dikelola sedemikian rupa oleh seorang pendidik.
Ketiga, Penggunaan Bahasa Inggris yang tidak terelakkan sebagai bahasa Internasional sepantasnya sudah dapat diterapkan sebagai bahasa pengantar, sekurang-kurangnya dalam jenjang pendidikan menengah atas. Hal ini dapat terlaksana manakala sejak tingkatan sekolah menengah seorang siswa sudah konsent dilatih bahasa Inggris melalui pemberian hafalan Vocab setiap hari. Penciptaan lingkungan yang kondusip di sekolah terhadap bahasa Inggris juga perlu digalakan, dengan memperhatian perbaikan mulai dari tenaga pendidik yang mengasai bahasa internasional ini.